1/22/2008

Ingin Kaya ? Jangan Jadi Karyawan!

Nyaris setiap bangun tidur, diva Indonesia, Kris Dayanti, sudah ditawari peluang konser atau menyanyi di panggung senilai puluhan juta hanya untuk membawakan 3-5 lagu. Kalau sehari saja bisa menghasilkan puluhan juta rupiah, tinggal hitung sendiri penghasilan bulanannya. Belum lagi tawaran iklan berbagai produk. Namun, pernahkan kita dengar pertanyaan: Kris Dayanti kuliah di mana atau meraih gelar sarjana apa?
Jangankan Kris Dayanti, Tasya dan Joshua -- dua bocah cilik Indonesia yang masih SD -- pun sudah mampu menghasilkan duit ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Sejarah wirausaha (entrepreneur) juga mencatat, banyak pengusaha bahkan konglomerat Indonesia yang sukses membangun imperium bisnis mereka meski pendidikannya hanya SMP bahkan SD.
Mungkin tak perlu terlalu banyak mencari contoh orang lain. Kalau saja saya dulu memilih menamatkan kuliah saya di Universitas Gadjah Mada, hampir pasti saya tak akan berani memulai bisnis Bimbingan Belajar Primagama, yang kini berubah menjadi holding company beromset di atas seratus miliar rupiah.
Meski dulu saya belum membaca buku laris Robert Kiyosaki, If You Want to Be Rich and Happy, Don`t Go to School?, saya sudah sadar bahwa pintar dan dapat ranking di sekolah tidak menjamin seseorang akan sukses dan kaya-raya.
Saya bahkan punya keyakinan, semakin lama seseorang sekolah, semakin tidak kreatiflah dia. Karenanya, semakin takut pula dia mengambil risiko -- sikap penting yang amat diperlukan bila seseorang ingin sukses menjadi wirausaha.
Dan, saat ini, menjadi business owner adalah jalan kongkret menjadi kaya-raya. Lewat pekerjaan yang ditekuni bertahun-tahun, akhirnya seseorang umumnya ingin hidup makmur dan terjamin masa depannya. Istilah gampangnya, hidup kaya-raya.
Namun, tak banyak orang yang menyadari bahwa sejak masuk kuliah sebenarnya seseorang telah menyiapkan dirinya hidup miskin. Contoh ekstremnya, kalau seseorang sejak muda bercita-cita menjadi guru, jangan harap di usia pensiunnya dia bisa membeli Mercy terbaru dan tinggal di perumahan elite. Demikian juga, bidan atau perawat rumah sakit mustahil mampu mengkredit Toyota Kijang LGX di usia pensiunnya. Lain ceritanya kalau dia memiliki jiwa wirausaha, sehingga dengan keahliannya dia mendirikan klinik atau rumah bersalin di rumah, yang bisa dikelola bersama kolega bidan lain.
Salah satu contoh yang berhasil mengembangkan cara serupa adalah Grup RS Hermina di Jakarta. Memang, cukup banyak bidan berjiwa wirausaha yang berani mengelola usaha rumah bersalin seusai berdinas di rumah sakit. Setelah berkembang menjadi klinik dan rumah bersalin besar, mereka pun membeli tanah di tempat lain untuk mengembangkan usahanya. Dengan begitu, BMW atau Mercy pun bisa dibelinya dengan mudah.
Banyak pula orang yang terbuai oleh sukses semu selama bertahun-tahun menjadi karyawan. Kalau kita menjadi manajer pemasaran bank dan suatu ketika berhasil memasarkan produk tertentu, pastilah kita berharap mendapatkan kenaikan gaji dari sukses itu. Ketika itu didapat, kita merasa kerja kita berhasil. Padahal, keuntungan atau bertambahnya kekayaan sang pemilik bank jauh berlipat dari kenaikan gaji yang diberikan kepada karyawan yang bekerja pada bank miliknya. Siapa yang lebih untung dan lebih kaya: karyawan yang punya ide pemasaran yang cemerlang, ataukah pemilik bank yang pasif dan mampu membayar lebih mahal kepada karyawan yang kreatif untuk mengelola untungnya menjadi berlipat? Jelas pemilik bank yang lebih banyak diuntungkan.
Jadi, mengapa mesti bertahan jadi karyawan? Bisnis kadang bisa dimulai dari kesadaran akan potensi diri sendiri.
Sayangnya, tak banyak orang menyadarinya. Untuk memulai bisnis, seorang ahli farmasi, misalnya, sering kali tak menyadari bahwa keahliannya adalah modal utama memulai bisnis. Sebab, mindset ahli farmasi tersebut adalah long life to be an employee. Maka, ketika suatu saat ia berhasil menemukan ramuan obat antikanker, dia memilih menjual paten penemuannya kepada pabrik farmasi besar. Sang ahli farmasi hanya menerima royalti tanpa pernah tahu persis keuntungan bersih yang tentu saja jauh lebih besar dibanding royalti yang diberikan kepadanya. Padahal, kalau saja sang penemu memilih mencari mitra bisnis yang mau membiayai penemuannya agar menjadi bisnis farmasi yang besar dan menguntungan, tentu kehidupannya jauh lebih kaya. Dengan bekal cetak biru penelitiannya yang profitable, tak sulit sebenarnya sang penemu mendapatkan mitra bisnis yang mau membantu permodalan bisnisnya. Investor tentu semakin percaya karena uangnya dikelola oleh orang yang tepat. Dan yang pasti, sang ahli bisa menjadi pemilik bisnis sembari terus mengembangkan penelitian lain sambil menghitung keuntungan bisnis yang dikelolanya sendiri. Bahkan, suatu saat ia bisa membayar ahli lain yang lebih hebat darinya untuk mengembangkan bisnis farmasinya.
Ini hanya satu contoh. Masih ada jutaan peluang yang sayang kalau keliru dilihat kemungkinannya mengubah nasib Anda. Jadi, sekali lagi, jangan terlalu lama menjadi karyawan. Mulailah mewujudkan mimpi Anda menemukan jalan menjadi pengusaha yang mapan secara finansial. Yakinlah, jutaan peluang bisnis selalu tersedia. Lihatlah peluang yang belum dikerjakan orang lain.
Kita tahu, misalnya, begitu banyak orang yang menjual wedang jahe, dari pasar becek hingga kaki lima. Tugas wirausaha adalah, bagaimana membuat wedang jahe mampu mendatangkan uang ratusan juta atau bahkan miliaran rupiah. Itu yang perlu kita cari tahu dan mencobanya. Atau, silakan nekat terus menjadi karyawan, niscaya Anda akan menyesali saat pensiun nanti.
____________________Penulis adalah Presiden Direktur Grup Primagama, juga Pengelola dan Mentor Utama Entrepreneur University.

No comments:

Lencana Facebook

Profil Facebook Dwiarko Susanto
Powered By Blogger
PlanetBlog - Komunitas Blog Indonesia